Cerpen - Anugerah TERINDAH
Anugerah TERINDAH
OLEH: FITHRI
Anak lelaki itu berumur lima atau enam tahun. Ia mengenakan kemeja
putih dan pullover kotak-kotak hijau dengan logo taman kanak-kanak di
dada kiri. Di bahunya tersandang tas punggung merah dan di dadanya
tersilang tali botol minuman. Ia kelihatan lucu dan manis.
Begitu naik ke dalam angkot, bocah itu menunjukkan hasil origaminya
pada wanita yang mungkin ibunya. Seekor burung yang sedikit kusut dan
penyok. Ia juga menyanyikan lagu baru yang diajari gurunya hari itu.
Lihat ibu keretaku yang baru
cukup besar untuk ayah dan ibu
roda tiga buatanku sendiri
dari kulit buah jeruk bali..."
Aku tersenyum geli mendengar suaranya yang agak sumbang tapi penuh
semangat. Bocah itu balas tersenyum padaku, kemudian kembali asyik
memberondong ibunya dengan berbagai cerita. Mulutnya tak henti
mengunyah donat yang barangkali dibelikan ibunya di depan sekolah.
Ibunya menyahut sesekali dengan anggukan atau gumaman setengah tak
peduli, sementara tangannya mengibaskan lukisan krayon anaknya untuk
menghalau panas.
Aku tidak menyalahkannya. Cuaca siang itu memang panas dan kemacetan
jalan membuat udara pengap. Melihat bungkusan yang terserak di
kakinya, aku yakin ia telah menghabiskan paginya untuk berbelanja
kebutuhan dapur. Tak heran ia kelihatan sangat letih, mengantuk dan
tak begitu bersemangat mendengar cerita anaknya di sekolah hari itu.
Atmosfer yang menyengat tidak mengalihkan perhatianku dari anak itu.
Kureguk tiap kata dan lagu yang dinyanyikannya seperti pengelana
kehausan yang menemukan wadi di tengah gurun. Alangkah rindunya aku
akan semua itu. Aku tak ingin membandingkan anakku dengan bocah lucu
di angkot itu, tapi mau tak mau Khalid singgah ke dalam benakku dan
merusak kenikmatanku.
Setiap kali memeriksakan diri selama mengandung Khalid, bidan selalu
mengatakan kehamilanku normal dan bayiku sehat. Karena itu aku dan
suami sama sekali tak siap waktu dokter memberi tahu bahwa Khalid
tidak normal. Ia lahir dengan Down syndrome.
Menyakitkan. Masa depan anakku sudah ditentukan oleh dokter hanya
beberapa menit setelah kelahirannya. Khalid tidak akan tumbuh seperti
anak normal dan dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang
mampu mengurus dirinya sendiri.
Selain itu dokter juga menemukan kelainan pada jantungnya yang harus
diperbaiki dengan pembedahan. Ada juga gangguan mata dan tonsil. Hal
yang menurut dokter biasa menimpa anak Down syndrome.
Shock yang kualami setelah melahirkan Khalid cukup berat hingga aku
harus dirawat agak lama di rumah sakit. Aku sangat tertekan hingga
bahkan tak bisa menyusui Khalid. Dokter memperkenalkanku dengan
wanita pakar penanganan anak Down syndrome. Wanita itu memberikan
buku-buku dan brosur kepada kami.
Tapi, semua yang kubaca malah semakin membuatku tertekan. Sejak
dokter menyatakan bahwa aku positif mengandung, aku selalu berdoa dan
bermimpi tentang seorang anak yang cerdas dan lincah. Anak yang akan
kubimbing mengenal Allah dan Rasul-Nya. Yang akan kuajari mengaji dan
shalat agar ia bisa mendoakan kedua orang tuanya. Ia akan kubawa
tafakur alam ke tempat-tempat
yang indah agar pandai bersyukur dan memiliki sifat tawadlu.
Aku akan memperkenalkannya pada saudara-saudaranya yang yatim dan
papa agar hatinya lembut dan peka. Yang akan mencintai buku-buku
seperti aku dan ayahnya. Anak yang akan jadi seorang pejuang di jalan
Allah, demi kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglima gagah
itu, Khalid bin Walid.
Kubayangkan jari mungil anakku menyusuri huruf-huruf dalam lembaran
mushaf Al Qur-an. Jika lelaki, ia pasti lucu dalam baju koko dan peci
mungilnya dan jika perempuan, ia pasti manis dalam jilbab kecilnya
yang berbunga dan berenda.
Rasanya aku bahkan sudah bisa mendengar suaranya yang bening
melantunkan ayat-ayat suci itu. Suara terindah yang pernah kudengar.
Lalu ke mana bisa kukubur kecewaku saat mendapati Khalid tak mungkin
mewujudkan semua impianku. Aku hanya bisa berdoa siang malam memohon
kekuatan. Aku mengintrospeksi diri, mengingat kembali apa yang telah
kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikan Khalid.
Hingga suatu hari kalimat itu menohokku. Anakku adalah amanat-Nya,
bukan hukuman, bukan aib. Hanya titipan, bukan milikku. Apakah aku
berhak menggugat jika titipan-Nya ternyata tidak seperti anak-anak
lain? Aku hanya ditugaskan menjaga dan mengasuhnya dengan cinta,
karena ia dititipkan Allah yang rahman dan rahim-Nya tak pernah surut
dari sisiku. Bukan tugasku menilai apakah Khalid layak jadi anakku
atau tidak. Setelah itu aku kembali menemukan ketenangan.
Tapi tak urung kesedihan itu kerap. Sangat menyakitkan. Tiap kubawa
Khalid ke dokter dan melihat ibu lain dengan bayi seumur Khalid, aku
kembali terbenam dalam kepiluan. Entah untuk Khalid atau untuk diriku
sendiri.
Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayi lain mulai tertawa dan
mengeluarkan suara-suara lucu, Khalid hanya diam. Ia memandang kosong
ke depan.
Tiap hari suamiku dan aku harus bergantian merangsang otaknya dengan
mainan warna-warna dan kerincingan yang ribut. Khalid baru
menunjukkan reaksi saat usianya hampir
delapan bulan.
Khalid baru belajar berjalan di usia dua tahun. Bicaranya tak pernah
selancar anak-anak lain dan kosa katanya sangat terbatas. Ia tak bisa
mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir sembilan tahun. Ia
harus disuapi tiap waktu makan sampai ia bisa makan sendiri beberapa
bulan terakhir ini.
Yang paling menjengkelkan, sulit sekali membiasakannya buang air di
kamar mandi walaupun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama
delapan tahun dari sepuluh tahun usianya.
Mengajari Khalid salat dan mengaji hampir tak mungkin. Khalid hanya
bisa mengikuti gerakan-gerakan salat tanpa bisa menghafal bacaannya.
Setelah beberapa lama, kami menyadari kesalahan kami dan mulai dari
awal sekali. Mengakrabkan
Khalid dengan Allah dan Islam. Sesuatu yang lebih mudah dilakukan dan
dipahami Khalid.
"Di belakang rumah ada pohon jambuu..." suara lantang bocah
berseragam TK diangkot itu mengembalikan perhatianku pada polahnya
yang kocak. Tapi kali itu aku tak bisa menikmatinya tanpa merasa iri.
Iri pada ibu yang tak menyadari besarnya nikmat Allah yang
dimilikinya. Ada kegeraman dan rasa kasihan pada diri sendiri yang
tiba-tiba bergolak dan menenggelamkanku.
Membuat dadaku sesak dan leherku tercekik. Aku tak tahu apakah harus
menyesal atau gembira saat anak itu akhirnya turun dari angkot.
Di bangku yang mereka tinggalkan kulihat burung-burungan kertas itu
gepeng. Kupungut dan kuperbaiki. Tiba-tiba mataku kabur oleh air
mata. Khalid tak bisa melukis dengan krayon atau membuat origami.
Koordinasi tangannya lemah sekali.
Dalam kepalanku yang gemetar, burung-burungan itu kuremas menjadi
gumpalan kertas. Aku tak sanggup lagi menahan isak. Dengan suara
tercekat kusuruh sopir berhenti. Kusodorkan ongkos dan turun,
walaupun rumahku masih jauh.
Aku duduk di halte yang sepi. Menarik nafas dalam-dalam dan
mengeringkan air mata. Saat aku menengadah mataku tertambat pada
papan putih di seberang jalan. Sebuah masjid. Ya Allah, inikah
teguran-Mu.? Aku menyeberang. Segera kuambil wudhu dan salat dua
rakaat. Air mataku
menetes saat kubaca ayat kedua belas dari surat lukman...
Anisykurlillahi....
Usai mengucap salam aku tercenung. Kekalutan yang sempat menguasai
sudah berhasil kukendalikan. Aku merasa kosong, tapi damai. Lalu satu-
satu fragmen kehidupan Khalid mulai kembali ke dalam benakku. Bukan
gambaran muram tentang kekurangannya, tapi keistimewaan-keistimewaan
kecil yang mengimbangi dan melengkapi hidupnya.
Khalid suka sekali musik. Ia sulit menangkap dan menghafal lirik,
tapi kenikmatan yang terlukis di wajahnya saat mendengarkan musik
adalah keindahan tersendiri. Ia juga tak pernah nakal dan usil,
selalu ramah dan murah senyum. Ia tak pernah marah dan ngambek, dan
jika dimarahi, cepat kembali ceria.
Ia sangat mencintai adiknya Fatimah, yang lahir empat tahun lalu.
Kami sempat khawatir Khalid akan cemburu dengan kehadiran adiknya.
Tapi ia malah antusias membantuku mengurus Fatimah. Sering kudapati
Khalid duduk menatap adiknya yang tertidur dengan ekspresi terpesona
yang tak terlukiskan.
Fatimah normal dan cerdas sekali tapi ia menerima abangnya tanpa
syarat. Kemesraan di
antara keduanya selalu menerbitkan syukur di hatiku dan ayah mereka.
Mengurus Khalid memang menuntut kesabaran dan kegigihan ekstra
dibandingkan mengasuh anak biasa. Tapi Khalid memang bukan anak
biasa.
Ia telah mengajarkan kepada kami makna mencintai tanpa pamrih yang
hakiki. Di zaman saat
orang memburu segala yang superlatif; tercantik, terpandai, tergesit,
anakku tidak akan bisa bersaing. Ia tidak mungkin menjadi teknolog,
ekonom atau da'i tersohor.
Tapi apakah itu akan mengurangi cinta kami padanya?
Mengurangi kegembiraan melihat prestasi-prestasi kecilnya yang
dianggap remeh dan sepele
orang lain seperti bisa berpakaian dan makan sendiri? Aku dan ayahnya
tak akan memperoleh apa-apa darinya. Kemungkinan besar Khalid akan
terus tergantung pada kami. Dan setelah kami tak sanggup lagi,
mungkin pada Fatimah.
Tapi kami memang tak lagi mengharapkan apapun darinya. Kami hanya
mencintainya.
Kudorong gerbang rumah dan kuserukan salam. Sahutan riang
menyambutku. Pintu terkuak. Fatimah menghambur memelukku sementara
abangnya tersenyum lebar sambil berjalan goyah di belakangnya.
"Ibu bawa apa, bawa apa?" tanya Fatimah. Ia memekik ketika
kukeluarkan sekantung mangga ranum dari keranjang belanjaku. Khalid
tersenyum. Matanya yang semula kosong berbinar. Mangga adalah buah
kesukaannya.
Aku masuk ke kamar untuk berganti baju setelah berpesan pada pembantu
untuk mencuci dan mengupaskan mangga buat anak-anak. Saat aku keluar,
mereka tidak berada di meja makan.
Kupanggil mereka dan kudengar sahutan dari halaman belakang.
Di depan kandang burung parkit Fatimah melonjak-lonjak dan tertawa
melihat abangnya dengan sabar menyodorkan potongan mangga lewat
jeruji bambu.
"Ayo kuning! Jangan diam saja! Tuh diambil si hijau deh!" teriak
Fatimah.
Satu demi satu burung-burung parkit dalam kandang terbang menyambar
potongan mangga dari tangan Khalid. Aku bertasbih. Mataku pedih.
Sudah lama aku mengamati keistimewaan Khalid untuk mencintai dengan
keikhlasan yang bersih dari egoisme anak seusianya. Cintanya sangat
tulus pada burung-burung kesayangan suamiku, pada ikan hias dan ayam
kate yang kami pelihara untuk mengajar anak-anak bertanggung jawab.
Bahkan pada bunga-bungaku di kebun. Ia gembira mengurus semua itu,
walaupun tak pernah mendapat imbalan apapun dari kami. Kelembutannya
terulur bahkan pada kucing-kucing liar
yang sering diberinya makan atau anak-anak tetangga yang kerap
mendapat bagian
dari jatah kue dan buahnya tanpa menuntut balasan apapun.
Aku memang tak punya alasan untuk bersedih dan kecewa. Khalid mungkin
tak bisa membaca dan mengaji. Tapi perasaannya halus dan penuh kasih
sayang. Dan aku sangat bersyukur atas kelebihannya.